Magelang-Pada Senin, 08/12/25, mahasiswa Program Studi Studi Agama-Agama (SAA) angkatan 2024 melakukan kunjungan ke Vihara Mendut Magelang sebagai bagian dari mata kuliah Agama Budha yang diampu oleh dosen Djurban, M.A. dan didampingi oleh Thiyas Tono Taufiq, M.Ag dan Aulia Rakhmat, M.A. Kegiatan ini bertujuan memperluas pemahaman mengenai agama Buddha, khususnya dari perspektif pemeluknya sendiri. Rombongan disambut oleh Bhante Sri Pannyavaro Mahathera yang sekaligus menjelaskan sejarah Budhisme khususnya Vihara Mendut sekaligus berkeliling menikmati situs-situs penting di Vihara ini.

Dalam penjelasan yang disampaikan saat itu ditegaskan bahwa perjalanan Siddhartha Gautama menuju pencerahan erat kaitannya dengan prinsip middle way atau jalan tengah. Dalam tradisi Buddhis, diyakini bahwa Siddhartha mencapai pencerahan ketika bermeditasi di bawah Pohon Bodhi (nama latin: Ficus religiosa) pada malam bulan purnama bulan Waisak. Salah satu wawasan penting yang ia peroleh pada saat itu adalah ajaran tentang jalan tengah, yakni cara hidup yang seimbang dalam menghadapi dukkha (penderitaan).

“Siddhartha Gautama dilahirkan sebagai putra seorang raja dan tumbuh dalam lingkungan istana yang serba berkecukupan. Semasa hidup di istana, ia sama sekali tidak diperlihatkan adanya bentuk penderitaan. Namun, ketika suatu hari ia keluar istana, ia menyaksikan kenyataan hidup: orang sakit, orang tua renta, mayat, serta seorang pertapa. Empat peristiwa itu membuka kesadarannya mengenai realitas dukkha yang dialami setiap manusia,” ungkap Bhante Sri Pannyavaro Mahathera.

Setelah memahami keberadaan penderitaan tersebut, Siddhartha memutuskan meninggalkan kehidupan istana dan menjalani kehidupan sebagai pertapa guna mencari jawaban tentang pembebasan dari dukkha. Ia menjalani praktik pertapaan yang keras dan penuh penyiksaan diri, namun tetap tidak menemukan pencerahan. Pada titik tertentu, ia menyadari bahwa cara ekstrem semacam itu tidak membawanya pada kebenaran. Siddhartha lalu menghentikan pertapaannya, memulihkan tubuhnya, dan dari sinilah titik balik perjalanan spiritualnya bermula. Seusai pulih, ia bermeditasi di bawah Pohon Bodhi hingga menjelang fajar, dan pada malam itu ia memahami bahwa pencerahan tidak ditemukan melalui kehidupan penuh kemewahan maupun melalui penyiksaan diri, tetapi melalui jalan yang seimbang. Pada saat itulah ia mencapai pencerahan dan dikenal sebagai Buddha.

Prinsip keseimbangan ini sering dianalogikan seperti senar gitar: bila ditarik terlalu kencang, senar akan putus; sebaliknya jika terlalu kendur, suara yang dihasilkan tidak merdu. Pengaturan senar yang pas menghasilkan bunyi yang harmonis—seperti halnya hidup yang dijalani secara seimbang.

Ajaran jalan tengah kemudian menjadi dasar praktik spiritual umat Buddha. Prinsip ini tidak hanya berfungsi sebagai pedoman keagamaan, tetapi juga sebagai panduan praktis dalam menjalani kehidupan dengan bijaksana. Ajaran tersebut menghindarkan seseorang dari dua kutub ekstrem—hidup dalam kemewahan berlebih atau menyiksa diri—dan mendorong terciptanya keseimbangan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Dengan mengenali batas diri serta mengetahui saat yang tepat untuk menahan diri atau bertindak, seseorang dapat hidup tanpa terjebak dalam pilihan yang berlebihan, sehingga batin tetap jernih dalam menghadapi berbagai persoalan.

Konsep jalan tengah juga relevan bagi masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Prinsip untuk tidak condong pada ekstrem fanatisme maupun sikap antiagama membantu masyarakat mengambil posisi yang terbuka dan proporsional. Jalan tengah menawarkan contoh bagaimana sikap moderat dapat meredakan ketegangan sosial dan meminimalkan polarisasi, sekaligus memperkuat nilai toleransi sebagai pilar kehidupan bersama.

Dalam konteks kebhinnekaan Indonesia, pendekatan semacam ini berpotensi melahirkan ruang dialog yang sehat, sikap saling menghormati, serta kemampuan hidup berdampingan tanpa memaksakan keyakinan masing-masing. Jalan tengah menjadi model bahwa moderasi dapat menjadi solusi dalam menghadapi dinamika sosial, menjaga harmoni, dan memperkukuh toleransi sebagai fondasi masyarakat Indonesia.

Penulis: Lulu Nuratikah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *